Kasus Korupsi Lahan Hutan Solok Selatan Mangkrak, Ketua Umum BPI KPNPA RI Desak Kejagung Ambil Alih

NEWS385 Dilihat

Padang | Dugaan korupsi penggunaan lahan hutan negara seluas 650 hektare oleh Bupati Solok Selatan Khairunas dan kroninya memasuki babak yang stagnan. Sejak diselidiki pertengahan 2024, kasus ini belum menunjukkan kemajuan berarti, meski puluhan saksi telah diperiksa, termasuk sang bupati dan keluarganya. Kini, suara desakan datang dari Ketua Umum Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara dan Pengawas Anggaran Republik Indonesia (BPI KPNPA RI), Tubagus Rahmad Sukendar.

“Kami mendesak Kejaksaan Agung RI untuk segera turun tangan dan mengambil alih kasus ini. Jangan biarkan penegakan hukum di Sumbar melempem karena tekanan kekuasaan lokal,” tegas Tubagus dalam keterangannya kepada media, Senin (22/4/2025).

Menurut Tubagus, lambannya proses hukum Kejati Sumbar memunculkan kecurigaan publik akan adanya upaya pengaburan fakta dan perlindungan terhadap pejabat terduga pelaku. Padahal, dugaan kerugian negara akibat penguasaan lahan tanpa HGU ini sangat besar dan telah berlangsung sejak awal 2000-an.

“Kita bicara soal 650 hektare lahan hutan yang digunakan secara ilegal, diduga untuk perkebunan sawit. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, ini perampokan aset negara,” kata Tubagus.

Sebelumnya, Kejati Sumbar mengonfirmasi bahwa penyelidikan masih berlangsung di bagian Pidana Khusus. Namun hingga awal 2025, belum ada penetapan tersangka, meski 60 saksi sudah diperiksa, termasuk Sekda Solok Selatan dan kelompok tani binaan adik ipar Khairunas.

Kondisi ini memperkuat persepsi publik bahwa kasus ini “disandera” di level daerah. Terlebih, Khairunas sendiri enggan berkomentar setiap kali diminta penjelasan, dan dua anaknya, yang juga diduga terlibat, dilaporkan mangkir dari panggilan jaksa.

Di sisi lain, masyarakat setempat mencurigai gaya hidup pejabat daerah yang kerap berpesta pora dalam berbagai kegiatan seremoni, padahal indikasi korupsi mengintai tajam.

“Kalau Kejati Sumbar tak mampu, lebih baik Kejagung ambil alih. Jangan sampai kepercayaan publik terhadap hukum makin hancur,” pungkas Tubagus.

Catatan Redaksi: Kasus ini bermula dari laporan masyarakat pada Maret 2024 dan hingga kini belum menyentuh tahap penuntutan. Transparansi dan keberanian lembaga hukum sedang diuji.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *